Senin, 25 April 2022

Perbaiki Kualitas Hidup pada Lailatul Qadar


Segala puji dan syukur hanya milik Allah. Mari kita bersyukur atas semua limpahan anugerah dan karunia-Nya. Hanya atas anugerah Allah, kita bisa sehat wal afiat dan dapat menjalankan aktifitas kita, semoga ibadah kita mampu menyempurnakan puasa kita di bulan penuh berkah ini. Shalawat dan salam mari kita sanjungkan kepada baginda Rasulullah SAW,  keluarga, sahabat, dan pengikut yang setia meneladani beliau. Semoga semua urusan kita dimudahkan oleh Allah, dan kelak di akhirat kita mendapat perlindungan syafaat beliau. Amin

Pada kesempatan ini marilah kita senantiasa memperkuat keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah ﷻ dengan iman dan takwa yang sebenar-benarnya. Berusaha keras melaksanakan semua yang diperintahkan oleh Allah dan berusaha sekuat tenaga menjauhi semua yang dilarang oleh Allah ﷻ.

Kehadiran malam lailatul qadar yang menurut para ulama pasti akan datang, sangat ditunggu-tunggu oleh para hamba-hamba yang “berburu” kemuliaan di malam itu. Lail artinya malam, seperti termaktub dalam QS. Al-Isra’ :78

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Artinya : “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.

Kata lail artinya sebagian malam, dan al-qadar artinya penentuan baik. Lailatul Qadar atau Lail al-Qadar (bahasa Arab: لَيْلَةِ الْقَدْرِ, malam ketetapan) adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadhan, yang dalam Al-Qur'an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dan juga diperingati sebagai malam diturunkannya Al-Qur'an. Jika demikian, maka malam lailatul qadar itu bisa saja diawali pada tengah malam, atau bisa juga sejak dari awal terbenamnya matahari.

Pada sepertiga terakhir dari bulan yang penuh berkah ini terdapat malam Lailatul Qadar, malam penentuan atau ketetapan di suatu malam yang dimuliakan oleh Allah melebihi malam-malam lainnya. Pada malam yang penuh berkah itu, semua urusan manusia atau hamba-hamba yang “berjuang” dan “berburu” keberkahan malam lailatul qadar bisa merubah dan memperbaiki “takdir” jalan dan kualitas hidup yang lebih baik lagi.

Di antara kemuliaan malam tersebut ditandai dengan malam yang penuh keberkahan sebagaimana Allah berfirman dalam QS Ad Dukhan:3-4

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ .  فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. Dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah”.

Malam yang diberkahi ini dijelaskan secara jelas dalam satu surat khusus yakni QS Surat Al-Qadr:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ . وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ . لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ .تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar”.

Soal kapan Lailatul Qadar itu terjadi, ada beberapa riwayat yang perlu dicermati. Di antaranya, pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi SAW:

"Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan” (HR. Bukhari)

Namun turunnya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi SAW:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Turunnya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan Ramadhan itu ditekankan lagi dalam hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda:

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى

“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia lemah atau letih, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa” (HR. Muslim).

Tampaknya tidak ada yang pasti, atau memang ini menjadi rahasia Yang Maha Kuasa. Ada yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’ab RA. Ada yang mengatakan, karena diambil dari jumlah huruf ليلة القدر sebanyak 9 huruf, dan disebut tiga kali dalam QS. Al-Qadar. Jadi, 9x3 = 27 kali. Berarti malam lailatul qadar jatuh pada tanggal 27 Ramadhan.

Pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat tersebut adalah pendapat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, tergantung kehendak Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

“Carilah ia (lailatul qadar) di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada malam ke sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa”  (HR. Bukhari).
Tampaknya Allah memang menyembunyikan tentang kapan terjadinya malam lailatul qadar secara pasti. Sebab jika diinformasikan secara pasti, seseorang tidak lagi semangat beribadah di hari lain.  Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencari dan berburu malam kemuliaan tersebut. Berburu dan mencari malam lailatul qadar adalah  bentuk kesyukuran hamba terhadap rahmat Allah dengan memperbanyak amalan di hari-hari tersebut.  Semoga Allah memudahkan kita memperoleh malam yang penuh keberkahan ini.
Adapun tanda lahiriyah tentang malam lailatul qadar berdasarkan sabda Rasulullah SAW di antaranya pertama, udara dan angin terasa tenang. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda:

لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء

“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan” (HR. Ath-Thayalisi).

Tanda kedua adalah malaikat turun membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan dan merasakan kelezatan dalam beribadah yang tidak didapatkan pada hari-hari lain. Tanda ketiga, manusia tertentu dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat. Tanda keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih dan sejuk.
hal ini juga sesuai dengan hadits Rasulullah dari Ubay bin Ka’ab bahwa Rasulullah SAW bersabda : ”Shubuh dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik” (HR. Muslim).

Saudaraku, di sisa sepuluh hari-hari terakhir ini, mari kita ikhtiarkan untuk bisa berburu dan mencari malam lailatul qadar, semoga Allah Yang Maha Mengatur alam ini mengijinkan dan menghendaki kita sebagai hamba-hamba yang mendapatkan kemuliaan malam lailatul qadar. Semoga Allah merubah hidup kita menjadi lebih baik dan lebih berkualitas. Hanya kepada Allah lah kita menuju dan menggapai keridhaan-Nya.

Jumat, 22 April 2022

Bagaimana Mengisi Jelang Akhir Ramadhan?


Kita sekarang sudah memasuki bagian-bagian akhir pada bulan Ramadhan. Kita perlu mengoreksi diri kita sendiri sebagai bahan evaluasi. Mulai awal Ramadhan kemarin sampai hari ini: apakah kualitas dan kuantitas ibadah kita sudah sesuai yang kita harapkan?. Apabila sudah, mari kita jaga sekuat tenaga hingga akhir Ramadhan. Jika belum sesuai dengan ekspektasi kita, mari kita tingkatkan dengan sebaik-baiknya. Karena,

“Setiap amal tergantung dengan endingnya” (Al-Hadits)

Seperti orang yang sedang membangun rumah. Kita ini sudah membangun rumah 70 persen. Bagaimana yang 30 persen sisanya, ini sangat menentukan. Kalau finishing-nya bagus, akan jadi rumah yang indah, tapi jika finishing-nya dikerjakan secara asal-asalan, tentu rumah yang dibangun dengan permulaan susah payah, hanya akan mendapatkan nilai buruk hanya masalah 30 persen yang akhir adalah buruk.

Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan pada sepertiga bulan Ramadhan akhir ini. Di antaranya bahwa Allah menciptakan umat Muhammad penuh dengan keistimewaan. Sebagian keistimewaannya adalah Allah menciptakan umat Muhammad sebagai umat yang lahir di muka bumi ini pada bagian paling akhir. Kenapa? Karena apabila ada umat  Muhammad yang menjadi seorang pendosa, seumpama ia mati, di kuburan disiksa tidak terlalu lama lagi kiamat akan datang, ia akan dientaskan dari siksaan kubur. Jika ia dalam keadaan membawa iman, ia akan berpeluang besar mendapatkan syafa’at Rasulullah ﷺ. Kata Rasulullah ﷺ:

Artinya: “Syafa’atku untuk para pendosa besar dari umatku.” (HR Abu Dawud dan At- Tirmidzi)

Ada keutamaan lain, umat Muhammad tidak diciptakan oleh Allah dengan umur yang panjang-panjang, 500 tahun, 700 tahun dan lain sebagai. Umur umat Muhammad rata-rata antara 60 sampai 70 tahun. Hal ini sebutkan dalam hadits Nabi:

Artinya: “Umur-umur umatku antara 60 hingga 70 tahun. Sedikit di antara mereka yang melewati usia tersebut.” (HR At-Tirmidzi)

Umur yang pendek-pendek ini di antara hikmahnya adalah supaya umat Muhammad tidak capek-capek beribadah yang panjang. Umat Muhammad diberi oleh Allah umur yang pendek, namun dalam pendeknya umur, Allah memberikan peluang lailatul qadar sehingga apabila lailatul qadar ini bisa digunakan dengan baik, hal tersebut lebih baik daripada seribu bulan atau 83 tahun lebih yang tidak malam lailatul qadarnya. Maka, seumpama ada umat Muhammad mulai ia baligh sekitar umur 13 tahun, setiap tahun ia bisa menggunakan malam laitalul qadar dengan sebaik mungkin sedangkan umurnya sampai 63 tahun, ia berarti telah menjalankan ibadah lebih baik dari 4.500 tahun yang tidak ada lailatul qadarnya. Betapa Allah sungguh memuliakan umat Muhammad dibandingkan umat yang lain.

Lailatul qadar tidak bisa dipastikan jatuhnya kapan. Bisa pada awal Ramadhan, tengah ataupun di bagian akhir Ramadhan. Hal ini tidak dijelaskan secara pasti supaya kita mau menjaring terus menerus. Dengan begitu, selama Ramadhan kita berusaha memenuhinya dengan ibadah-ibadah. Hanya saja, secara umum memang lailatul qadar itu banyak yang jatuh pada kisaran 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Rasulullah begitu tampak sikapnya bagaimana beliau memenuhi sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Di antaranya Rasulullah telah memberikan contoh kepada kita melalui hadits yang diriwayatkan oleh istrinya Aisyah radliyallahu anha:

Artinya: “Nabi ﷺ ketika memasuki sepuluh hari terakhir mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari Muslim)

Pengertian “mengencangkan sarungnya”, sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam tafsirnya Fathul Bari, adalah Rasulullah ﷺ memisahkan diri dari istrinya, tidak menggauli istri beliau selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah lebih fokus ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Hadits tersebut terkandung maksud bahwa cara Rasulullah menghidupkan malam lailatul qadar adalah dengan tidak menjadikan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan tersebut sebagai momen bermals-malasan dan sarat tidur. Orang tidur sama dengan mati, maka lawan katanya adalah menghidupkan. Rasulullah menghidupkan malam dengan terjaga, beribadah, tidak mengisinya dengan tidur.

Selain itu, Baginda Nabi juga memperhatikan masalah ibadah keluarganya. Beliau tidak ibadah sendirian sedangkan keluarga yang lain santai-santai, tidak. Rasulullah membangunkan keluarganya untuk beribadah malam, bersujud kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Amalan lain yang selalu dilakukan oleh Rasulullah pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan adalah i'tikaf. Kisah ini diceritakan oleh Sayyidatina Aisyah radliyallahu anha, istri beliau:

Artinya: “Sesungguhnya Nabi Muhammad ﷺ i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau dipanggil oleh Allah subhanahu wa ta’ala kemudian istri-istri beliau i'tikaf setelah beliau kembali ke rahmatullah.” (HR Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bahwa i'tikaf merupakan perkerjaan penting sehingga Rasulullah melaksanakan tidak hanya beberapa hari saja di sepuluh akhir bulan Ramadhan. Tidak juga hanya melaksanakan pada salah satu Ramadhan, namun setiap sepuluh akhir Ramadhan sampai beliau meninggalkankan dunia. Kita patut mencontoh sunnah Nabi yang seperti ini. Dalam kitab Al-Majmu’ syarah Al-Muhadzab disebutkan:

Kata Imam As-Syafi’i dan murid-muridnya “Barangsiapa yang ingin mengikuti Nabi ﷺ dalam menjalankan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka hendaknya ia masuk masjid pada tanggal 20 Ramadhan sore hari sebelum memasuki malamnya tanggal 21. Hal ini penting dilakukan supaya apa? Supaya tidak terlewatkan sedikitpun waktu untuk i’tikaf. Kemudian kapan selesai i’tikafnya? Kalau ingin secara total mengikuti Rasul seratus persen dalam hal ini, Imam Nawawi melanjutkan, keluarnya setelah melewati maghrib malam hari raya Idul Fitri, baik hitungan bulannya penuh 30 hari atau pun hanya 29. Namun yang paling utama adalah tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat id sekalian.

Sebagaimana kita ketahui bahwa I’tikaf hukumnya adalah sunnah, namun I’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan hukumnya lebih sunnah atau sunnah muakkadah, sunnah yang sangat kuat. (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, juz 6, halaman 375)

Pada bulan Ramadhan juga disebutkan sebagai bulan Al-Quran.

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan menjadi penjelas dari petunjuk dan dari petunjuk-petunjuk itu dan menjadi pembeda (dari perkara yang haq dan bathil).” (QS Al-Baqarah: 185)

Pada bulan Ramadhan Rasulullah juga memperlakukan dengan istimewa. Tidak sebagaimana bulan-bulan yang lain, pada bulan ini beliau bertadarus dengan malaikat Jibril. Rasulullah ﷺ membaca satu ayat, malaikat Jibril membaca satu ayat secara bergantian sampai khatam dalam sebulan. Kemudian kita melestarikan tradisi bertadarus bersama dengan keluarga dan saudara kita berawal dari kisah ini.

Imam Syafi’i apabila di luar Ramadhan selalu mengkhatamkan Al-Qur'an sehari sekali dalam shalatnya. Namun apabila pada bulan Ramadhan, dalam sehari semalam beliau menghatamkan Al-Qur'an dalam shalat sebanyak dua kali khataman.

Oleh karena itu, mari pada bulan Al-Qur'an ini, kita perbanyak bacaan Al-Qur'an kita. Bagi yang belum bisa, jadilah Ramadhan ini sebagai tonggak awal kita dalam mempelajari Al-Qur'an sesuai tajwid kepada guru yang mumpuni dan di kemudian hari bisa sebagai bahan dasar untuk membaca Al-Qur'an.

Pada akhirnya, dalam khutbah ini, saya mengajak kepada para hadirin, untuk bersungguh-sungguh memenuhi puasa Ramadhan dan beribadah malamnya dengan sebaik mungkin. Semoga kita dan keluarga kita senantiasa mendapatkan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk menjalankan ketaatan-ketaatan yang pada akhirnya kelak kita meninggalkan dunia ini dalam keadaan husnul khatiman, aamiin.

Senin, 18 April 2022

Enam Adab Berpuasa Menurut Imam al-Ghazali


Pada bulan Ramadhan umat Islam di seluruh dunia diwajibkan berpuasa sebagaimana umat-umat sebelumnya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanu wa’taála dalam surat Al-Baqarah ayat 183 sebagai berikut:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.”

Ibadah puasa tidak hanya memiliki ketentuan hukum yang menentukan sah tidaknya, tetapi juga memiliki adab tertentu yang berpengaruh terhadap pahala yang diterima oleh seseorang. Artinya adab berpuasa sangat penting untuk diperhatikan karena menentukan kualitas ibadah ini di hadapan Allah subhanu wa’taála sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 439), sebagai berikut:

Artinya: “Adab berpuasa, yakni: mengonsumsi makanan yang baik, menghindari perselisihan, menjauhi ghibah (menggunjing orag lain), menolak dusta, tidak menyakiti orang lain, menjaga anggota badan dari segala perbuatan buruk.”

Keenam adab sebagaimana disebutkan di atas akan diuraikan satu per satu berikut ini:

Pertama, mengonsumsi makanan yang baik. Selama berpuasa, khususnya di bulan Ramadhan, makanan yang sebaiknya kita konsumsi adalah makanan yang baik atau halalan thayyiba. Makanan yang baik tidak identik dengan makanan yang lezat atau mahal, tetapi adalah makanan yang baik bagi kesehatan dan tentu saja juga halal secara syarí. Beberapa makanan dikenal sangat lezat seperti cumi-cumi, rempelo, hati,   otak dan sebagainya. Tetapi semua makanan  ini mengandung protein sangat tinggi yang dalam jangka pendek atau panjang bisa merugikan kesehatan khususnya bagi mereka yang telah mengidap kelesterol tinggi.

Beberapa makanan yang baik kita konsumsi selama Ramadhan, disamping makanan pokok seperti nasi atau lainnya, adalah  kurma, madu, sayuran,  daging, ikan, dan lain sebagainya. Intinya adalah makanan yang secara kesehatan baik untuk dikonsumsi dan juga halal secara syarí. Syukur-syukur makanan itu ada tuntunannya di dalam agama baik berdasarkan Al-Qur’an atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  seperti madu dan kurma sebagaimana telah disebutkan di atas.

Kedua, menghindari perselisihan. Pertengkaran atau perselisihan bisa terjadi kapan saja. Tetapi orang-orang berpuasa sangat dianjurkan menjaga kesucian bulan Ramadhan dengan tidak melakukan pertengkaran. Untuk itu diperlukan kesadaran penuh untuk menahan diri dari emosi yang dapat menjurus pada pertengkaran. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah yang dirawayatkan oleh Bukhari berikut ini:

Artinya: “Dan jika seseorang mengajak bertengkar atau mencela maka katakanlah, “ Sesungguhnya aku sedang berpuasa. (Ucapkan hal ini dua kali).”

Jadi ungkapan “Aku sedang berpuasa” sebagaimana dimaksudkan dalam hadits di atas adalah untuk menyatakan ketidak sanggupan kita untuk berselisih atau bertengkar dengan pihak lain di bulan Ramadhan.  Intinya kita sangat dianjurkan untuk bisa menjaga perdamaian dan kerukunan bersama di saat kita sedang berpuasa. 

Ketiga,  menjauhi ghibah/menggunjing orang lain. Menggunjing orang lain di luar bulan Ramadhan saja tidak baik, apalagi selama puasa di bulan suci ini. Tentu dosanya lebih besar dan dapat menghilangkan pahala berpuasa itu sendiri. Oleh karena itu setiap orang yang berpuasa perlu menyadari hal ini sehingga bisa bersikap hati-hati dalam menjaga lisannya.

Lisan memang merupakan salah satu organ manusia yang paling banyak mendatangkan dosa apabila kita tidak berhati-hati. Artinya banyak dosa yang diakibatkan ketidak mampuan kita menjaga lisan, seperti menggunjing, memfitnah dan sebagainya.  Semakin baik kita menjaga lisan, semakin banyak keselamatan kita dapatkan. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Al-Bukhari sebagai berikut:

Artinya: “Keselamatan manusia bergantung pada kemampuannya menjaga lisan.”

Keempat, menolak dusta. Menolak berkata dusta merupakan hal penting sebab sekali berdusta kita akan cenderung berdusta lagi untuk menutupi dusta sebelumnya. Di saat puasa,  kita harus mampu menghindari berkata dusta karena dusta dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala berpuasa. Juga, kita harus mampu menahan diri dari melakukan sumpah palsu sebab hal ini juga dapat merusak kualitas ibadah puasa kita. Tentu saja tidak hanya kualitas ibadah puasa kita menjadi menurun akibat dusta dan bersumpah palsu, tetapi juga kita akan mendapatkan dosa yang lebih besar.

Hal tersebut sebagaimana disinggung Rasulullah dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh At-Thabrani sebagai berikut:

Artinya: “Takutlah kalian terhadap bulan Ramadhan karena pada bulan ini, kebaikan dilipatkan sebagaimana dosa juga dilipat-gandakan.”

Kelima, tidak menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain baik secara fisik maupun secara verbal  merupakan perbuatan tercela. Setiap perbuatan tercela berdampak langsung terhadap kualitas ibadah puasa kita. Ibadah puasa yang kita jalani dengan susah payah dengan menahan dahaga dan lapar dari pagi dini hari hingga saat maghrib,  akan sia-sia tanpa pahala apabila kita tidak mampu menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain merupakan kezaliman dan oleh karenanya merupakan kemaksiatan.

Oleh karena itu, betapa pentingnya selalu mengingat bahwa di dalam bulan Ramadhan kita benar-benar harus dapat menjaga lisan agar tidak sekali-kali menggunakannya untuk menyakiti orang lain seperti memfitnah, menghina dan lain sebagainya.   

Keenam, menjaga anggota badan dari segala macam perbuatan buruk. Di bulan Ramadhan khususnya, hendaklah kita dapat menjaga tangan kita agar tidak kita gunakan untuk maksiat seperti memukul orang lain ataupun mencuri, dan sebagainya. Kaki juga harus kita jaga sebaik mungkin dengan tidak menggunakannya untuk pergi ke tempat-tempat tertentu untuk berbuat maksiat dan sebagainya. Demikian pula mata dan telinga kita hendaklah selalu kita jaga sebaik-baiknya agar tidak kita gunakan untuk melakukan perbuatan maksiat yang dosanya dilipatkan dalam bulan suci ini.

Singkatnya, jangan sampai kita berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain haus dan dahaga saja karena banyak melanggar adab berpuasa sebagaiamana dikhawatirkan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad sebagai berikut:

Artinya: “Banyak orang yang berpuasa, namun mereka tidak mendapatkan apa pun selain dari pada lapar dan dahaga.”

Semoga kita semua termasuk orang-orang yang mendapat rahmat dan pertolongan dari Allah subhanahu wata’ala sehingga ibadah puasa tahun ini akan dapat kita laksanakan dengan sebaik-baiknya tanpa melanggar ketentuan hukum dan adab berpuasa. Dengan cara ini insya Allah puasa kita akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala dan mendapatkan ampunan-Nya yang sebesar-besarnya. Amin ya rabbal alamin.

Kamis, 14 April 2022

Pesan Damai Bulan Ramadhan


Kini, kita memasuki sepuluh kedua Ramadhan, bulan yang penuh berkah dan ampunan. Tidak ada dosa yang diperbuat seorang yang berpuasa, yang puasanya dilakukan dengan khusyu’, ikhlas, imanan, dan ihtisaban, kecuali akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”  (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

Menurut catatan Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, yang dimaksud Imanan adalah berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa, sedangkan yang dimaksud ihtisaban adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala. Itulah alasan mengapa Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 183 menyebutkan bahwa seruan kewajiban berpuasa itu diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman. Yâ ayyuhal ladzîna âmanû, kutiba ‘alaikumush shiyâm. Atas dasar imanan dan ihtisaban, itulah tata cara puasa yang benar, yang membuat pelakunya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Kalau seseorang mendasari puasanya karena dasar iman, mengharap pahala dan ridha Allah, maka tentu hatinya semakin tenang, lapang dan bahagia. Ia pun akan bersyukur atas nikmat puasa Ramadhan yang ia dapati tahun ini. Hatinya tentu tidak merasa berat dan susah ketika menjalani puasa. Sehingga ia pun terlihat berhati ceria dan berakhlak yang baik. 

Di antara hikmah Ramadhan adalah ada bahwa berpuasa itu adalah benteng atau perisai bagi pelakunya. Rasulullah bersabda:

“Puasa adalah perisai. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah berkata keji dan berteriak-teriak. Jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa puasa merupakan perisai, selama tidak dinodai dengan perkataan dan perbuatan kotor yang dapat merusak hakikat puasa itu sendiri. Yang dimaksud puasa itu جُنَّةٌ (junnatun) adalah bahwa puasa akan menjadi pelindung, yang akan melindungi pelakunya di dunia dan juga di akhirat. Di dunia, puasa akan menjadi pelindung bagi pelakunya untuk tidak mengikuti godaan syahwat yang terlarang di saat puasa. Oleh karena itu tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk membalas orang yang menganiaya dirinya dengan balasan serupa. Sehingga jika ada yang mencela ataupun menghina dirinya, maka hendaklah dia mengatakan “Aku sedang berpuasa”. Kemudian di akhirat, puasa akan menjadi perisai bagi pelakunya untuk tidak dimasukkan ke dalam api neraka pada hari kiamat.

Dalam konteks puasa sebaga junnah, setidaknya ada tiga manfaat puasa, yaitu fâ’idah rûhiyyah, fâ’idah ijtimâ’iyyah, dan fâ’idah shihhiyyah. Di antara faedah rûhiyyah berpuasa Ramadhan adalah bahwa berpuasa menjadikan kita membiasakan diri agar berlaku sabar, mengekang hawa nafsu, dan membuat kita untuk selalu mengekspresikan sikap dan karakter takwa dalam segala keadaan, karena memang takwa itulah yang menjadi tujuan khusus dalam berpuasa. La’allakum tattaqûn. 

Kemudian, di antara faedah ijtimâ’iyyah dalam puasa Ramadhan adalah bahwa kita dibiasakan untuk hidup tertib, disiplin, rukun, damai, dan bersatu padu. Puasa juga mengajarkan kita untuk cinta keadilan dan kesetaraan di antara umat: antara yang kaya dan yang miskin, antara yang pejabat dan rakyat, antara pengusaha dan karyawan, dan seterusnya. Tidak ada perbedaan di antara mereka, semuanya wajib berpuasa ketika telah memenuhi persyaratannya. Bahkan, puasa juga menjadi ajang pembentukan rasa kasih dan sayang, untuk selalu berbuat baik terhadap sesama, karena memang dengan berpuasa, segala pintu dosa dan kemaksiatan menjadi tertutup karenanya. Sedangkan faedah shihhiyyah berpuasa Ramadhan adalah bahwa berpuasa itu membersihkan usus-usus dan pencernaan, memperbaiki perut yang terus-menerus beraktivitas, membersihkan badan dari lemak dan kolesterol yang menjadi sumber penyakit, sehingga orang yang berpuasa menjadi sehat adanya. Shûmû tashihhû, kata Nabi. Berpuasalah, niscaya kalian sehat.

Oleh karena itu, marilah bulan Ramadhan tahun ini kita jadikan sebagai perisai spiritual, perisai sosial dan perisai kesehatan. Dengan berpuasa, kita bina Indonesia damai. Damai jiwa kita, rukun sosial kita, dan sehat raga kita.

Selaku intelektual Muslim moderat, kita jaga perdamaian bangsa Indonesia ini dengan Junnahnya puasa. Jangan sampai puasa kita kali ini, dirusak lagi dengan perkataan keji (qaul az-zûr), ghibah, menebar hoaks, fitnah,  ujaran kebencian, dan adu domba, baik secara langsung maupun melalui media digital, media elektronik, televisi, radio, internet, dan media sosial. Perkataaan dan perbuatan itu kita bersihkan dengan puasa kita yang imanan wa ihtisaban. Kalau semua itu masih kita lakukan di bulan Ramadhan ini, maka kita termasuk orang yang disabdakan Rasulullah:

“Banyak orang yang berpuasa, namun ia tak mendapatkan apa pun dari puasanya, selain rasa lapar saja.” (HR Imam Ahmad).

Intinya, marilah kita jadikan momen Ramadhan tahun ini sebagai bulan penyucian badan dan rohani dari segala keburukan. Kita suarakan pesan damai Ramadhan. Karena inilah sikap intelektual Muslim moderat. Hal ini perlu kita gaungkan, agar kita mendapatkan hikmah damai Ramadhan, sehingga bangsa dan negara Indonesia yang tercinta ini, dapat kita jaga dari kehancuran moral.

Sebagai penutup khutbah pertama ini, marilah kita renungkan firman Allah Ta’ala dalam QS. al-A’raf ayat 96:

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”.

Semoga puasa kita yang imanan dan ihtisaban itu menjadi Junnah bagi kita untuk dapat terus menjaga dan merawat Indonesia yang damai, dengan mendapatkan keberkahan Ramadhan dari langit dan bumi. Amîn yâ rabbal ‘âlamîn.

Sabtu, 09 April 2022

Hikmah dan Berkah Bulan Ramadhan

 

Pada kesempatan yang mulia ini marilah kita tingkatkan kualitas takwa kita, di antaranya dengan berusaha melaksanakan ibadah Ramadhan dengan sebaik-baiknya.

Kita saat ini berada di bulan suci Ramadhan, yaitu  bulan yang diberkahi. Terutama karena di bulan Ramadhan ini ada peristiwa agung, yaitu Nuzul al-Qur’an (turunnya kitab suci al-Qur’an). Al-Qur’an ini berfungsi sebagai nûr (cahaya), hudan (petunjuk), dan rahmat bagi manusia.

Telah maklum bahwa Ramadhan adalah bulan keberkahan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah s.a.w. memberikan kabar gembira kepada para sahabat beliau. Beliau bersabda: telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, yaitu bulan yang diberkahi, Allah telah memfardhukan (mewajibkan) atas kalian berpuasa di bulan itu, di bulan itu dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan di bulan itu pula ada Lailatul Qadar (Malam Qadar) yang lebih baik dari seribu bulan”, Siapa saja yang terhalang dari kebaikan malam itu maka ia terhalang dari rahmah Tuhan (HR. al-Nasa’i).

Oleh karena itu, sesungguhnya kita diajarkan oleh Nabi Muhammad agar menyambut bulan Ramadhan ini dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya sejak jauh-jauh hari, dari bulan Rajab. Sejak bulan Rajab kita diajarkan untuk memohon keberkahan hidup di bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, kita diajarkan agar berdoa:

”Wahai Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan bulan Sya’ban, dan berkahilah pula kami di bulan Ramadhan.”

Mengapa kita diajarkan untuk memohon keberkahan? Apakah keberkahan penting bagi kita? Ini karena keberkahan hidup menjadi dambaan setiap orang yang berakal sehat. Berkah berarti bertambah. Dalam makna luas berkah berarti bertambah kebaikan (ziyâdat al-khair fî al-syai’), termasuk kesejahteraan baik dari segi material maupun immaterial.

Berkah dalam arti materi, seperti harta benda yang kita miliki makin bertambah, dan usaha semakin maju. Berkah dalam arti immateri, seperti ketenteraman hati kita makin terasa, dan pengetahuan dan wawasan yang semakin bertambah luas, yang mengarahkan kepada sikap dan perbuatan yang penuh hikmah kebijaksanaan, sikap dan perbuatan yang moderat, tidak ekstrem, sikap dan perbuatan yang mencerminkan rahmatan lil ‘alamin.

Di antara hikmah bulan Ramadhan adalah ada pengabulan doa bagi orang yang berdoa; ada penerimaan tobat orang yang bertobat, dan ada pengampunan bagi orang yang mohon ampunan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi yang panjang, yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas radhiyallau ‘anhuma, di dalam bagian hadits ini disebutkan:

"Dalam setiap malam bulan Ramadhan Allah ‘azza wa jalla berseru sebanyak tiga kali: Adakah orang yang meminta maka aku penuhi permintaannya? Adakah orang yang bertobat maka aku terima tobatnya? Dan adakah orang yang memohon ampunan maka aku ampuni dia?” (HR. Al-Thabrâni dan al-Baihaqî).

Pada bulan Ramadhan kita diwajibkan berpuasa, yang tujuan utamanya adalah untuk menjadikan kita orang-orang yang bertakwa. Sejarah kewajiban puasa Ramadhan ini ditetapkan pada bulan Sya’ban Tahun Kedua Hijriyah, yang mengandung banyak hikmahnya.

Di antara hikmah berpuasa Ramadhan adalah mensyukuri nikmat Tuhan yang diberikan kepada kita selama ini. Karena makna ibadah secara mutlak, termasuk ibadah puasa, adalah ungkapan syukur dari seorang hamba kepada Tuhannya atas nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa kita tidak akan dapat menghitung nikmat Tuhan (QS. Ibrâhim [14]: 34).

Dalam puasa Ramadhan setidaknya ada 3 faedah (manfaat), yaitu fâ’idah rûhiyyah (manfaat psikologis/spiritual/kejiwaan), fâ’idah ijtimâ’iyyah (manfaat sosial-kemasyarakatan) dan fâ’idah shihhiyyah (manfaat kesehatan).

Di antara faedah kejiwaan dari berpuasa Ramadhan adalah pembiasaan diri kita agar berlaku sabar, ajaran agar kita mengekang hawa nafsu, dan ekspresi atau ungkapan mengenai karakteristik takwa yang tertanam dalam hati. Takwa itulah yang menjadi tujuan khusus dalam berpuasa Ramadhan. 

Di antara faedah sosial-kemasyakatan dalam puasa Ramadhan ini adalah pembiasaan kita, umat Islam, untuk tertib, disiplin dan bersatu padu, cinta keadilan dan kesetaraan di antara umat Islam: antara yang kaya dan yang miskin, antara yang pejabat dan rakyat, antara pengusaha dan karyawan, dan seterusnya. Tidak ada perbedaan di antara mereka, semuanya wajib berpuasa ketika telah memenuhi persyaratannya. Juga di antara faedah sosial dari puasa adalah pembentukan rasa kasih sayang dan berbuat baik di antara kaum Muslim, sebagaimana puasa Ramadhan ini melindungi masyarakat dari keburukan-keburukan dan kemafsadatan.

Adapun di antara manfaat kesehatan dari berpuasa Ramadhan adalah berpuasa itu membersihkan usus-usus dan pencernaan, memperbaiki perut yang terus-menerus beraktifitas, membersihkan badan dari lendir-lendir/lemak-lemak, kolesterol yang menjadi sumber penyakit, dan puasa dapat menjadi sarana diet atau pelangsing badan.

Oleh karena itu, marilah Bulan Ramadhan ini, kita jadikan bulan kesederhanaan, bulan peribadatan, bulan memperbanyak berbuat kebajikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan bantuan, bulan perlindungan badan kita, ucapan kita dan hati kita dari hal-hal yang dilarang agama, seperti perkataan keji (qaul az-zûr), ghibah, menebar hoaks, fitnah, hate speech (ujaran kebencian), dan adu domba, baik secara langsung maupun melalui media-media digital, media elektronik, televisi, radio, internet, dan media sosial (medsos). Intinya marilah kita jadikan bulan Ramadhan ini bulan penyucian badan dan rohani kita dari segala keburukan, agar kita mendapatkan hikmah yang berharga dan keberkahan hidup.

Sebagai penutup, marilah kita renungkan firman Allah Ta’ala dalam QS. al-A’raf (7): ayat 96:

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.

Semoga kita mendapatkan hikmah yang berharga dan keberkahan di bulan Ramadhan ini. Aamiin yaa rabbal 'aalamiin.

Selasa, 05 April 2022

Puasa dan Tiga Kesalehan

Umat Islam sedunia pada saat ini sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Perintah menjalankan ibadah puasa tidak hanya terdapat di dalam agama Islam tetapi juga di dalam agama-agama yang diturunkan sebelumnya, yakni Nasrani dan Yahudi. Perintah puasa dimaksudkan untuk membentuk pribadi yang bertakwa kepada Allah subhanahu wata‘ala sebagaimana disebutkan di dalam Al Qur’an, surat Al Baqarah, ayat 183 sebagai berikut:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu, agar kamu bertakwa."

Ibadah puasa yang dijalankan dengan benar akan menghasilkan orang-orang yang setidaknya memiliki 3 (tiga) kesalehan sebagai cerminan dari ketakwaan kepada Allah subhanahu wata‘ala . Ketiga kesalehan tersebut adalah:

1. Kesalehan Personal

Kesalehan personal adalah kesalehan invidual yang berupa penghambaan pribadi kepada Allah subhanahu wata‘ala seperti menjalankan shalat, puasa itu sendiri, dzikir, i’tikaf dalam masjid, tadarus Al-Qur’an dan sebagainya. Kesalehan seperti ini sesungguhnya lebih mudah dicapai di bulan Ramadhan karena selama bulan ini Allah mengkondisikan situasi dan kondisi sedemikian kondusif, seperti memberi reward (penghargaan) kepada siapa saja atas ibadah yang dilakukannya berupa pahala 70 kali lebih besar dari pada di luar bulan Ramadhan, sekaligus memberikan punishment (hukuman) yang lebih berat bagi yang melakukan kemaksiatan. Maka di bulan Ramadhan orang-orang cenderung meningkatkan ibadahnya dan bersikap hati-hati agar tidak melakukan kemaksiatan.

Selain pahala, Allah juga menjanjikan terampuninya dosa-dosa di masa lampau sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu sebagai berikut:

Artinya: “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Hadits diatas memberikan jaminan kepada setiap Muslim tanpa terkecuali, bahwa ibadah puasa yang dijalankan secara benar yang didasari keimanan bahwa puasa Ramadhan adalah benar-benar kewajiban dari Allah subhanahu wata‘ala, disertai harapan mendapat pahala dari Allah subhanahu wata‘ala, tanpa berharap apapun dari manusia, misalnya pujian atau pemberian sedekah dan zakat atau hadiah Lebaran seperti THR dari orang-orang tertentu, maka orang tersebut oleh Allah subhanahu wata‘ala akan diampuni seluruh dosanya di masa silam. Artinya, semakin banyak usia seseorang akan semakin banyak dosa-dosa yang diampuni Allah subhanahu wata‘ala.

Oleh karena itu, beruntunglah mereka yang sudah tua tetapi masih mau dan mampu menjalankan ibadah puasa Ramadhan secara penuh dan baik, sebab semakin dekat dengan ajal, semakin sedikit sisa-sisa dosa mereka sebagai imbalan atas ibadah puasa yang dijalankannya. Betapa indahnya kehidupan seseorang jika diakhiri tanpa dosa atau sedikit dosa saja. Selain itu, mereka yang berpuasa akan mendapatkan prioritas dalam memasuki surga lewat pintu yang disebut Ar-Rayyan sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:

Artinya: “Sesungguhnya di surga terdapat pintu yang dinamakan Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu itu pada hari Kiamat. Tidak ada seseorang pun yang akan masuk melalui pintu ini kecuali mereka. Dikatakan: Mana orang-orang yang berpuasa? Lalu mereka semua berdiri. Tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu ini selain mereka. Apabila mereka semua telah masuk, pintu ini akan ditutup dan tidak ada seorang pun yang akan masuk melaluinya.”

2. Kesalehan Sosial

Kesalehan sosial adalah kesalehan seseorang terhadap orang lain dalam kerangka ibadah kepada Allah subhanahu wata‘ala. Puasa yang dijalankan dengan benar dan dihayati sepenuhnya akan menghasilkan orang-orang yang peka terhadap persoalan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan sebagainya. Mereka juga akan memiliki solidaritas sosial terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan, baik berupa barang maupun jasa, karena terkena bencana, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, kebakaran, tsunami dan sebagainya. Namun, kepekaan dan solidaritas seperti itu sulit dicapai ketika orang yang berpuasa tidak bisa menghayati makna lapar, dahaga dan kesulitan atau kesusahan lain yang dihadapinya.

Memang, sangat diharapkan orang-orang yang sedang berpuasa menghayati rasa lapar dan dahaga yang dirasakannya sehingga terbuka kesadaran bahwa dalam masyarakat masih ada orang-orang yang dalam kehidupan sehari-harinya mengalami kelaparan seperti itu. Bukan karena mereka sedang berpuasa tapi karena memang tidak memiliki apa-apa untuk dimakan. Mereka miskin karena tidak memiliki pekerjaan atau karena menjadi korban bencana. Atau menjadi korban penggusuran karena kesewenang-wenangan penguasa. Dari penghayatan seperti itu diharapkan akan tumbuh kesadaran untuk membantu meringankan penderitaan mereka.

Dalam konteks seperti itulah, maka zakat fitrah diwajibkan bagi setiap orang Islam untuk dikeluarkan dan diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu. Zakat fitrah ini harus sudah diberikan kepada yang berhak sebelum Shalat Idul Fitri dilaksanakan. Diharapkan, dari zakat fitrah ini akan ada kepastian atau jaminan bahwa setidaknya pada hari Idul Fitri tidak ada orang yang kelaparan di tengah-tengah kaum Muslimin merayakan hari itu dengan suka cita. Syukur-syukur jika zakat fitrah yang diterima orang-orang yang tidak mampu itu jumlahnya cukup besar sehingga dapat menjamin anak-anak mereka atau orang-orang tua yang sudah udzur dalam keluarga itu dapat makan setiap harinya.

Selain zakat fitrah, ada zakat mal yang banyak orang mengeluarkannya pada akhir bulan Ramadhan. Jika zakat fitrah dimaksudkan untuk konsumsi, maka zakat mal lebih dimasudkan untuk pemberdayaan yang produktif. Ada pendapat pribadi bahwa memberikan zakat mal kepada sedikit orang dalam jumlah cukup besar untuk tujuan produktif, misalnya untuk pemberian modal usaha, dengan harapan di tahun depan mereka tidak lagi menjadi penerima zakat tetapi menjadi wajib zakat karena telah berubah menjadi orang mampu, itu lebih baik dari pada memberikan zakat mal dalam jumlah besar kepada orang banyak tapi masing-masing mendapat bagian dengan nilai sangat kecil dan tidak berarti apa-apa. Dengan cara seperti itu, menurut pendapat tersebut, angka kemiskinan dapat dikurangi sedikit demi sedikit.

3. Kesalehan Lingkungan

Kesalehan lingkungan adalah kesalehan dalam hubungannya dengan ekologi atau lingkungan dalam kerangka ibadah kepada Allah subhanahu wata‘ala. Dalam Al-Quran, surat Ar-Ruum, ayat 41, Allah subhanahu wata‘ala berfirman:

Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Dalam ayat diatas Allah subhanahu wata‘ala mengingatkan kita bahwa kerusakan-kerusakan di bumi sebenarnya disebabkan ulah manusia sendiri. Misalanya, pencemaran udara disebabkan karena kita terlalu banyak memproduksi sampah berupa asap sebagai efek samping dari kegiatan kita memenuhi kebutuhan dan keinginan kita yang berlebihan, baik melalui cerobong-cerobong pabrik, cerobong rumah tangga, asap kendaraan bermotor, asap rokok dan sebagainya. Dampak dari kerusakan itu akan ditimpakan kepada manusia agar mereka menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan yang benar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pencemaran udara menyebabkan jumlah orang yang menderita penyakit saluran nafas terutama asma dan bronchitis meningkat.

Secara jelas, puasa akan membentuk kesalehan lingkungan karena selama berpuasa banyak hal yang berpotensi merusak atau mencemari lingkungan dapat kita kurangi. Sebagai contoh, di bulan Ramadhan kita dapat mengurangi kebiasaan-kebiasaan yang tidak ramah lingkungan dengan berkurangnya aktivitas-aktivitas seperti menurunnya mobilitas dengan kendaraan bermotor karena merasa lemas di siang hari. Ini artinya berkurangnya pemakaian BBM. Berkurangnya konsumsi makanan, minuman dan rokok berarti menurunnya sampah-sampah dan asap yang mencemari lingkungan. Menurunnya permintaan bahan-bahan makanan dan minuman berarti berkurangnya eksploitasi terhadap alam.

Ketiga kesalehan diatas, yakni kesalehan personal, kesalehan sosial dan kesalehan lingkungan akan benar-benar menjadi kesalehan yang nyata apabila selepas bulan Ramadhan, yakni selama 11 bulan berikutnya, kita benar-benar dapat meneruskan apa yang sudah kita capai selama Ramadhan tersebut. Jika ketiga kesalehan itu hanya berlangsung selama bulan Ramadahn saja, maka puasa Ramadhan yang kita jalani belum mampu merubah kita menjadi orang-orang istiqamah yang secara konsisten mampu meningkatkan kesalehan dari waktu ke waktu. Tetapi mereka yang mendapatkan keutamaan lailatul qadar tentu tidak akan sulit untuk mencapai peningkatan ketakwaan seperti itu.

Karena itulah, kita berharap dan berdoa semoga lewat puasa Ramadhan tahun ini kita semua dimudahkan oleh Allah subhanahu wata‘ala dalam mencapai ketiga kesalehan tersebut secara istiqamah. Amin...amin... ya rabbal ‘alamin.